Cikal
bakal pesantren Tambakberas Jombang, bermula pada sekitar tahun 1827.
Saat itu, desa tersebut masih lebat dengan hutan belantaranya. Semak
belukar liar meranggas di mana-mana. Suasan desa masih sepi. Pemukiman
penduduk desa masih terbilang berjauhan satu sama lain.
Di
saat seperti ini, datanglah seorang pendakwah agama. Ia seorang
pelarian dari Perang Jawa, Diponegoro. Siapa namanya? Dialah KH. Abdus
Salam. Sesungguhnya, ia bukan hanya seorang pendakwah agama. Kiai Abdus
Salam, bisa dibilang pula, seorang pendekar. Ia punya ketinggian ilmu
bela diri, dan bahkan kanugaran. Semuanya lalu termanifestasikan ke
dalam keluhuran budi pekerti dan kerendahan hatinya.
Kiai
Abdus Salam, melarikan diri usai takluknya pasukan Pangeran Diponegoro
di tangan Belanda. Kekalahan dalam perang Jawa itu, bagai palu gadam.
Amat telak pukulannya. Terlebih, posisi Pangeran Diponegoro yang
ditangkap oleh Belanda. Lalu, sebagian besar pengikut pangeran yang
tidak ditangkap, menyebar ke berbagai tempat. Salah satunya, yaitu Kiai
Abdus Salam. Dari Tegalrejo, ia dan kawanannya, bergerak menuju timur.
Tempat yang ia sasar, yaitu Tambakberas. Sebuah tempat yang jauh dari
keramaian khalayak.
Ada satu misi yang ingin ia kembangkan, yaitu dakwah Islam.
Bersama
beberapa pengikutnya ia lalu membangun sebuah perkampungan santri.
Hunian sederhana itu, terdiri dari langgar (mushalla) dan tempat
pemondokan sementara, untuk 25 orang pengikutnya. Karena pesantren saat
itu hanya dihuni 25 orang, maka dikenal dengan Pondok Selawe (dua puluh lima).
Kiai
Abdus Salam masih berada dalam garis keturunan Prabu Brawijaya, salah
seorang raja Dinasti Majapahit. Lebih jelasnya, Abdus Salam adalah
putera dari Abdul Jabar, putera Ahmad, putera Pangeran Sumbu, putera
Pangeran Benowo, putera Jaka Tingkir (Mas Karebet), putera Lembu Peteng,
putera Brawijaya V (raja Majapahit ketujuh).
Nama
Kiai Abdus Salam kemudian lebih dikenal dengan nama Shoichah atau Kyai
Shoichah. Beliau kemudian menikahi seorang puteri dari kota Demak, yaitu
Muslimah. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai beberapa putera dan
puteri. Mereka antara lain: Layyinah, Fatimah, Abu Bakar, Marfu’ah,
Jama’ah, Mustaharoh, Ali Ma’un, Fatawi, dan Abu Syakur.
Pasca
berpulangnya Kyai Usman dan Kyai Said ke rahmatullah, kepemimpinan
pesantren dilanjutkan oleh Chasbulloh. Ia seorang putera Kiai Said. Ini
berbeda dengan yang dialami Kiai Usman. Beliau tidak berketurunan
seorang putera sebagai penerus. Oleh sebab itu, seluruh santri yang
beliau asuh, lalu diboyong menuju pondok barat di bawah asuhan Kiai
Chasbulloh. Dalam mengembangkan pesantren, Kiai Chasbulloh ditemani
seorang istri setia, yaitu Nyai Latifah (asalnya Aisyah) yang berasal
dari desa Tawangsari, Sepanjang Sidoarjo.
Di
tengah ketenangan dan kedamaian suasana batin Abdus Salam selepas
menaklukkan semak dan mendidik santri, ternyata pihak penjajah, Belanda,
merasa terancam. Belanda khawatir Abdus Salam akan menghimpun bala
kekuatan untuk menentangnya jika pesantrennya terus berkembang. Dari
kekhawatiran ini, Belanda berkali-kali mencoba memanggil kyai Abdus Salam.
Namun, naluri sebagai seorang mantan pasukan perang Pangeran Diponegoro,
membuatnya tidak cepat merespon untuk memenuhi panggilan tersebut.
kyai Abdus Salam tahu bahwa, jika memiliki keinginan, maka Belanda akan
menggunakan berbagai cara, termasuk memanggil seseorang untuk berunding.
Ujung-ujungnya, itu hanya untuk memantapkan posisinya dalam menjajah
negeri ini.
Dikisahkan,
tiga kali Belanda mencoba memanggil kyai Abdus Salam. Pada panggilan pertama
dan kedua pihak Belanda kembali dengan tangan hampa. Kyai Abdus Salam
sama sekali tak mengindahkan pemanggilan tersebut. Dua kali pemanggilan
“baik-baik” tidak mau datang, Belanda menganggap Kyai Abdus Salam telah
membangkang dan menentang mereka. Maka, pada pemanggilan ketiga, Belanda
memerintahkan utusannya agar mampu membawa Kyai Abdus Salam hidup atau
mati. Jika masih saja membangkang, maka harus dipaksa.
Kyai Abdus Salam sendiri, juga jengah karena merasa ketenangannya dalam berdakwah terusik oleh Belanda.
Pada
pemanggilan ketiga Belanda mengirim kurir yang gagah berani dengan
mengendarai bendi. Sesuai dengan misi tugasnya untuk menghadirkan kyai Abdus
Salam dalam keadaan apapun, kurir itu berkata kepada kyai Abdus Salam dengan
kata-kata kasar dan memaksa. Kyai Abdus Salam yang sudah kesal terhadap
Belanda tersinggung, lalu spontan membentak kurir tersebut.
Keajaiban terjadi, begitu kata-kata bentakan itu dilontarkan kyai Abdus Salam, kurir belanda itu langsung klenger/mati bersama kuda yang ia tunggangi.
Cerita
tentang kyai Abdus Salam dan tewasnya kurir Belanda tersebut cepat tersebar
luas ke masyarakat. Sejak saat itulah, Kiai Abdus Salam mendapat sebutan
Shoichah, atau “Mbah Shoichah”, yang artinya bentakan. Kiai
Abdus Salam hingga kini tetap dikenal, dikenang, dan dihormati sebagai
Pendiri Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.
Dari
Kiai Abdus Salam atau Mbah Shoichah dan istrinya, Nyai Muslimah, kelak
melahirkan keturunan ulama-ulama besar. Seperti sebut saja, Hadratus
Syekh KH. Hasyim Asy’ari (founding father dan Rais Akbar NU),
KH Abdul Wahab Chasbullah (Pendiri dan Rais ‘Am pertama NU), KH Abdul
Wahid Hasyim (Tokoh NU dan Mantan Menteri Agama RI), KH Muhammad Wahib
Wahab (Tokoh NU, Mantan Menteri Urusan Kerja Sama Sipil-Militer RI, dan
Mantan Menteri Agama RI), KH. Abdurrahman Wahid (Mantan Ketua Umum PBNU
dan Mantan Presiden RI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar